Macet. Di Jakarta, masalah ini agaknya belum akan terpecahkan dalam jangka pendek. Saking rumitnya, pemerintah pusat dan pemerintah provinsi sampai terkesan saling lempar tanggung jawab.
Baik pusat maupun daerah tentunya sama-sama punya andil dan tanggung jawab. Tapi, cukupkah dua pihak itu saja yang harus memikirkan solusi kemacetan? Keduanya memang perlu terus mengevaluasi kebijakan yang sudah dan akan diterbitkan. Supaya pusat dan daerah tidak bertentangan.
Situs detik.com pernah mengutip data Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ), kerugian akibat kemacetan mencapai Rp 128 triliun per tahun. Sementara, situs Tempo.co, pada 15 Desember 2018, melansir data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) yang menyebutkan penjualan mobil dari pabrik ke dealer (wholesales) periode Januari-November 2018 mencapai 1.063.464 unit, naik tujuh persen dari periode yang sama tahun lalu sebanyak 994.799 unit. Diperkirakan sampai akhir 2018, jumlahnya mencapai 1,1 juta unit. Begitu juga selama 2019.
Itu belum termasuk penjualan motor (roda dua). Situs /Kompas.com/, pada 20 Desember 2018, melansir data Asosiasi Sepeda Motor Indonesia (AISI), yang menyebutkan sampai akhir 2018, penjualan motor diperkirakan mencapai 6,3 juta unit, atau naik sebesar 8,6 unit dibanding 2017. Sebaliknya, data Badan Litbang Kementerian Perhubungan, Oktober 2018 dikutip /Berita Trans/, menyebutkan pertumbuhan panjang ruas jalan di Jabodetabek hanya di kisaran satu persen tiap tahun. Sedangkan pertambahan kendaraan mencapai 11 persen per tahun.
Terbayang kemacetan apa yang bakal terjadi jika situasi seperti sekarang terus terjadi tanpa solusi. Terbayang pula kerugian akibat kemacetan yang disebut-sebut mencapai puluhan, mungkin ratusan triliun rupiah. So, pemerintah pusat maupun daerah perlu membangun transportasi massal yang baik. MRT Jakarta yang baru dioperasikan bisa saja membantu, tapi mungkin masih perlu waktu. Rekayasa lalu lintas seperti ganjil genap memang perlu, tapi rasanya bukan solusi akhir. Kalangan industri otomotif diharapkan juga membantu upaya membuat ‘pintu keluar’ bagi kendaraan yang terus menumpuk di jalanan. Bukan hanya terus memproduksi dan menjual.
Pihak industri otomotif, mobil maupun motor, juga memegang peran tak kalah penting. Jika terus mengejar peningkatan produksi, sadar atau tidak, berarti ikut andil memicu kemacetan. Maka, tak pelak kalangan industri pun punya peran penting mengatasi kemacetan. Bisa saja dengan membantu pemerintah mencari solusi mengurangi mobil ‘berumur’, tanpa mengurangi produksi.
Solusi bagi mobil-mobil ‘berumur’ (yang tak lagi laik jalan) menjadi penting. Ini bisa menjadi ‘pintu keluar’ sehingga meminimalkan penumpukan jumlah produksi. Ibarat garasi, jika mobil terus menerus masuk, tanpa ada pintu keluar, maka garasi pun bakal penuh. Industri bisa menggunakan sebagian profitnya untuk menemukan cara meminimalkan mobil ‘berumur’. Selesaikah? Belum.
Publik juga pegang peran penting mengurai kemacetan. Misalnya, lebih menggunakan transportasi massal. Kendaraan pribadi digunakan hanya jika dibutuhkan (urgent). Lebih dari itu, publik, termasuk angkutan umum, juga perlu introspeksi. Masihkah kita melanggar rambu lalu lintas? Parkir sembarangan? Saling serobot di jalan? Menyetop angkutan di sembarang tempat? Kalau jawabannya ya, publik pun punya andil menyumbang kemacetan. Maka, mengubah sikap publik yang seperti algojo di jalanan, jelas juga mendesak.
Kemacetan bukan persoalan satu dua pihak, tapi persoalan bersama. Pantas kalau secara bersama pula berbagi peran mengurai kemacetan. Sebelum ibukota benar-benar lumpuh!#